Apakabarmu di sana? Tentu sudah bahagia sekarang. Sudah tidak sakit lagi, sudah bertemu dengan ayah dan ibu. Tidak terasa, sudah setahun dua bulan sejak kepergianmu, pak Haji. 24 November 2017. Baru sekarang aku memberanikan diri menuliskan kisah tentangmu. Dan ini pun aku masih menulis dengan air mata yang mengalir. Setiap mengenangmu, entah kenapa aku masih belum mampu mngenangmu tanpa tangis. Jangan marah ya, pak Haji. Aku masih ingat kok kata-kata terakhirmu. Mengingatkanku untuk kuat, jangan kebawa sedih terus, ketika aku mengabarkan berita adikku meninggal. Dan tidak lama setelah itu, hampir sebulan kemudian pak Haji pun ikut pergi...
Belum hilang sedih karena kepergian adikku, pak Haji. Bagaikan tidak percaya ketika melihat status di FB saudaramu, mengabarkan kepergianmu. Sungguh aku sangat tidak percaya. Karena beberapa minggu sebelumnya, saat kita ngobrol, kau mengabarkan kondisimu sudah membaik. Aku menangis dalam diam kala itu. Karena aku membaca kabar itu saat di kantor. Aku mencoba mencari kepastian lewat sahabatmu, Mhimi. Ingin rasanya mendengar, itu suatu kesalahan. Namun Mhimi memastikan, kau benar-benar sudah pergi pak Haji...
Kami menangis bersama. Seakan tidak percaya, kau benar-benar tiada. Kau tidak berada di kampung halamanmu saat itu. Jauh di kampung orang. Namun sebelum kau meninggal, saudaramu mengatakan, bahwa kau ingin dikubur di sana, tidak ingin menyusahkan keluargamu. Tidak ingin mereka repot. Sampai akhir hidupmu pun, kau tetap masih memikirkan orang lain. Kau ingat pak haji, aku pernah bertanya, kapan kau akan kembali ke kampung halamanmu. Dan sungguh itu pertanyaan tidak pernah kau jawab, dari semua yang pernah aku tanyakan. Pertanda kah? Bahwa kau tidak akan pernah kembali?
Kau ingat pertama kali kita kenal? Mhimi yang memperkenalkan kita. Seingatku awal 2015 waktu itu. Dia ingin membantumu mengenalkan pada orang-orang, kenalannya, tentang keahlianmu menggambar. Ya saat itu kondisimu sudah sakit, tetapi tidak mau dikasihani. Dalam keterbatasanmu, kamu masih tetap ingin mencari nafkah sendiri, mencari biaya untuk pengobatanmu. Dan setelah itu beberapa kali kita berbincang lewat inbox FB, bbm kala itu. Belum banyak yang aku ketahui tentangmu. Namun sedikit cerita dari Mhimi, menggambarkan kau sosok yang sabar dan tabah. Setelah mengenalmu beberapa lama, sangat aku percaya kebenaran cerita itu...
Beberapa hari sekali, selalu saling sapa di inbox FB, banyak hal yang kita ceritakan. Dan sebanyak itu cerita, aku tidak pernah membaca keluhanmu tentang sakit yang kau derita. Kau selalu bercanda, selalu ceria. Aku yang hidup dengan normal terkadang malu, selalu ada saja yang aku keluhkan. Kau begitu kuat pak Haji...
Kau ingat asal muasal kita saling memanggil Pak Haji dan Bu Haji? Kau pernah berkeinginan untuk naik haji atau pun umroh. Dan aku bercanda Insya Allah dikabulkan pak Haji. Dan kau pun mendoakanku, bu Haji juga, semoga kita bisa berhaji suatu saat nanti. Sejak itulah, kita selalu melekatkan panggilan itu satu sama lain. Dengan harapan Allah akan mengabulkan doa-doa kita. Dan semoga suatu saat nanti doamu akan terkabulkan pak Haji. Semoga...
Cerita kita tentang kau akan menjadi penulis hebat. Kau ingat, tentang tulisanmu yang berlatar belakang kota Nonsan di Korea? Kau bahkan belum pernah ke sana. Dan kita berniat ke sana, suatu saat nanti. Andaikan nanti tulisanmu bisa diterbitkan, kau bercanda bahwa kalau orang-orang bertanya tentang Korea, harus aku yang menjawabnya. Padahal aku pun belum pernah ke Nonsan. Doakan aku pak Haji, suatu saat nanti aku akan ke Nonsan. Aku akan menceritakan padamu pasti, bagaimana kota yang terkenal dengan strawberrynya itu...
Bermula bbm, inbox di FB, akhirnya setelah beberapa hari ibumu meninggal, aku memberanikan diri untuk meneleponmu. Tidak terbayangkan, ibu yang selama ini merawatmu, harus pergi. Aku merasa iba kala itu padamu, pak Haji. Merasa kau orang paling malang. Namun, tetap ketika kita berbicara, kembali aku malu. Sungguh entah kesabaran dari mana yang diberikan Allah kepadamu. Kau bilang, kau sedih, tetapi kau tidak ingin larut dalam kesedihan. Aku tadi yang berniat menghiburmu, malah aku yang akhirnya menangis. Dan kau mentertawakan aku dengan bercanda, "Wahhhh, nggak jadi nih hibur aku, yang mau bikin tertawa katanya, kok malah nangis".
Kau ingat pertama kali aku akan meneleponmu. Kau malah tidak mau menjawab langsung teleponku. Setelah aku telepon untuk kedua kali baru kau jawab. Kau bilang, biar kelihatan sedikit jual mahal. Ada-ada saja kan tingkahmu. Dan kau juga bilang, jangan ketawa bila nanti mendengar logat daerahmu. Aku bilang, sepertinya nggak kentara deh logatnya. Kamu jawab lagi, sudah usaha sangat ini menghilangkannya. Hahaha... lihatlah, dalam keaadaan apapun kau selalu berusaha membuat orang lain tertawa. ..
Dari ceritamu, kamu dengan sangat bahagianya berkata bahwa kamu sangat bersyukur, dengan keadaanmu yang tidak normal, kamu masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk merawat ibumu. "Andaikan aku tidak sakit seperti sekarang, bu Haji. Mungkin aku sudah berada di kota atau mungkin entah di negara mana. Lupa akan kampung sendiri, dan mungkin lupa akan ibu sendiri. Aku bersyukur diberi sakit seperti ini. Aku bisa merawat ibu sampai akhir". Lihatlah keikhlasan dan kesabaran seperti apa yang ada dalam hatimu pak Haji. Sakitmu kau anggap sebagai berkah, bukan ujian...
Ahhh... begitu banyak cerita-cerita yang kita obrolkan pak Haji. Pertama kali telpon, sampai tiga jam lebih tidak terasa. Sampai kau bilang, "Wahhh sudah panas kupingku, bu Haji". Entah apa yang kita obrolkan selama itu pak Haji. Banyak sekali. Tentangmu yang pernah kerja di Jakarta, tentang asal muasal penyakitmu, tentang upayamu dan keluargamu untuk kesembuhanmu, kenanganmu tentang mendiang ibumu, dan bahkan kita bercerita tentang beberapa hal yang mungkin kita anggap hanyalah mimpi. Tidak pernah ada salahnya dengan mimpi, karena semua berawal dari mimpi katamu. Ahhh aku rindu saat-saat itu, pak Haji...
Kau ingat, pak Haji. Aku pernah menelponmu dengan menangis. Kau sangat kaget. Saat itu aku sedang galau dengan cerita hidup yang sedang melingkari hatiku, pak Haji. Dan kau pun menenangkanku. Tidak memberikan pesan dengan menggurui, tetapi mengena di hati. Kau sepertinya tidak pernah capek dengan keluh kesahku, pak Haji. Selalu membesarkan hatiku, membuat aku kembali tertawa. "Laki-laki itu, kalau dia benar-benar sayang sama bu Haji, tidak perlu berdarah-darah mencintainya. Dia yang tulus, akan selalu berada di sisi bu Haji. Wahhh lama-lama aku pun bisa buka konsultasi masalah percintaan nih, bu Haji. Konsultasilah sekarang, besok-besok nggak gratis lho". Kau selalu bisa membuat hati tenang dan senang, pak Haji...
Aku kadangkala sering membaca kembali obrolan-obrolan kita. Banyak hal yang terkadang sepertinya dulu tidak penting penting yang kita bicarakan, sekarang terasa sangat berarti. Membahas daun kelor, membahas orang-orang yang pesan kalender, yang terkadang permintaan mereka lucu-lucu. Bagaimana dengan perbedaan waktu 8 jam sewaktu aku traveling sendiri ke Eropa, kita masih sempatkan untuk berkabar, padahal terkadang salah satu dari kita sering tertidur, dan baru membalas esok harinya. Kadangkala kau membangunkan aku sewaktu sahur saat Ramadhan tiba. Saling berkirim kabar tentang suasana lebaran di kampung halaman kita. Untunglah sebelum kepergianmu, aku sempat pulang ke kampung halamanku, pak Haji, jadi aku, masih bisa bercerita padamu.
Pak Haji masih ingat, sewaktu aku lagi memasak makanan khas kampungku di rumah Bintaro. yang gagal total. Sala lauak, nama makanannya pak Haji. Kau mentertawakanku, ketika aku mengirimkan photo hasil masakannya, bagaimana bisa ketika aku menggorengnya, meledak kemana-mana, sampai ke plafon. Setelah tertawa kau baru menanyakan apakah aku baik-baik saja. "Kasian plafonnya, bu Haji. hahaha". Sekarang mengingatnya lucu namun juga sedih, pak Haji...
Beberapa kali pak Haji berusaha mengajarkan aku bahasa Makassar atau pun Bugis. Dan selalu aku menyerah. Terlalu susah bagiku. Tentang kau yang bercerita usaha-usahamu untuk tetap menghasilkan uang asal halal, tentang pengobatan yang sedang kau jalani. Atau pun aku yang seringkali bertanya, tulisanmu mana, sudah sampai mana. Dan bagaimana pula akhirnya kita tahu, kalau sebenarnya dulu kita sudah pernah kenal sewaktu akftif di blog Indosiar. Berapa puluh abad yang lalu :D. Dunia sempit ternyata pak Haji. Banyak hal lain yang kita bahas, pak Haji. Bahkan kadang karena kesibukan, sesekali kita hanya sekedar bertanya kabar. Hal sepertinya dulu biasa, menjadi luar biasa ketika aku membacanya kembali, Pak haji. Karena semua tidak akan pernah terulang lagi...
Kau pernah berjanji, nanti suatu saat nanti kau akan datang ke Bintaro, ke rumahku. "Bu Haji harus masakin aku rendang lho. Ehhh apa saja yang penting masakan bu Haji. Aku selama ini hanya sering dikirim gambarnya saja". Dan semua tidak pernah terwujud, pak Haji. Bahkan janji kita untuk bisa bertemu pun tidak pernah terwujud. Sampai akhir hayatmu, kita tidak pernah bertemu. Namun kehilanganmu seperti sahabat yang sudah sangat sekian lama kenal. Kau lihat, tanpa bertemumu pun, aku bisa begitu merasa kehilanganmu. Sampai saat ini, pak Haji. Saat aku rindu dan ingin bercerita, aku terkadang mengirimkan pesan di WAmu. Pesan yang tidak pernah akan terkirim sampai kapanpun...
Terbayang olehku pak haji, aku saja yang baru mengenalmu, bisa sedemikian kehilangannya. Bagaimana dengan keluarga, saudara-saudara dan sahabat-sahabatmu. Mereka pasti sangat kehilangan. Sosok yang begitu sabar dan tabah. Yang membaca mungkin akan bingung, aku akan menceritakan sedikit tentang sakitmu. Kau yang dulunya hidup normal, punya kerjaan di Jakarta. Tiba-tiba harus menerima kondisi kedua kakimu tidak berfungsi. Dan itu harus kau jalani bertahun-tahun. Bahkan belakangan, kondisi tangan dan matamu juga bermasalah. Namun kau tetap menerima semua kondisimu dengan tabah. Kau tahu pak Haji, kau sosok nyata tentang keikhlasan. Ikhlas dalam arti sebenar-benarnya. Sabar-sesabarnya. Karena itu Allah sayang padamu, pak Haji...
Pak Haji...
Banyakkk hal yang ingin aku ceritakan. Semua hal yang terjadi sepeninggalmu. Tetapi aku tidak ingin mengganggu tidur panjangmu. Tenang di sisi-Nya. Semoga diampuni segala dosa-dosa dan salahmu, dilapangkan dan diterangkan kuburmu, dijauhkan dari siksa kubur. Dan mendapatkan surga nantinya. Aamiin...
Kawan...
Apa kabarmu
Bahagia pasti dirimu
Bisa bertemu ayah dan ibumu
Tak ada lag sakit menderamu
Damailah disana, dirimu...
Kawan...
Pergimu tanpa tanda
Kau selalu berkata
Kau baik-baik saja
Keluh kesah tak pernah ada
Tanpa pamit kau tiada
Kawan...
Pusaramu entah dimana
Kita bahkan belum pernah bersua
Tapi banyak sudah cerita
Yang kita rangkai dalam kata
Semua tinggal cerita
Sampai nanti kawan...
Dee - 24 Jan 2019
Pak Haji masih ingat, sewaktu aku lagi memasak makanan khas kampungku di rumah Bintaro. yang gagal total. Sala lauak, nama makanannya pak Haji. Kau mentertawakanku, ketika aku mengirimkan photo hasil masakannya, bagaimana bisa ketika aku menggorengnya, meledak kemana-mana, sampai ke plafon. Setelah tertawa kau baru menanyakan apakah aku baik-baik saja. "Kasian plafonnya, bu Haji. hahaha". Sekarang mengingatnya lucu namun juga sedih, pak Haji...
Beberapa kali pak Haji berusaha mengajarkan aku bahasa Makassar atau pun Bugis. Dan selalu aku menyerah. Terlalu susah bagiku. Tentang kau yang bercerita usaha-usahamu untuk tetap menghasilkan uang asal halal, tentang pengobatan yang sedang kau jalani. Atau pun aku yang seringkali bertanya, tulisanmu mana, sudah sampai mana. Dan bagaimana pula akhirnya kita tahu, kalau sebenarnya dulu kita sudah pernah kenal sewaktu akftif di blog Indosiar. Berapa puluh abad yang lalu :D. Dunia sempit ternyata pak Haji. Banyak hal lain yang kita bahas, pak Haji. Bahkan kadang karena kesibukan, sesekali kita hanya sekedar bertanya kabar. Hal sepertinya dulu biasa, menjadi luar biasa ketika aku membacanya kembali, Pak haji. Karena semua tidak akan pernah terulang lagi...
Kau pernah berjanji, nanti suatu saat nanti kau akan datang ke Bintaro, ke rumahku. "Bu Haji harus masakin aku rendang lho. Ehhh apa saja yang penting masakan bu Haji. Aku selama ini hanya sering dikirim gambarnya saja". Dan semua tidak pernah terwujud, pak Haji. Bahkan janji kita untuk bisa bertemu pun tidak pernah terwujud. Sampai akhir hayatmu, kita tidak pernah bertemu. Namun kehilanganmu seperti sahabat yang sudah sangat sekian lama kenal. Kau lihat, tanpa bertemumu pun, aku bisa begitu merasa kehilanganmu. Sampai saat ini, pak Haji. Saat aku rindu dan ingin bercerita, aku terkadang mengirimkan pesan di WAmu. Pesan yang tidak pernah akan terkirim sampai kapanpun...
Pak Haji...
Banyakkk hal yang ingin aku ceritakan. Semua hal yang terjadi sepeninggalmu. Tetapi aku tidak ingin mengganggu tidur panjangmu. Tenang di sisi-Nya. Semoga diampuni segala dosa-dosa dan salahmu, dilapangkan dan diterangkan kuburmu, dijauhkan dari siksa kubur. Dan mendapatkan surga nantinya. Aamiin...
Kawan...
Apa kabarmu
Bahagia pasti dirimu
Bisa bertemu ayah dan ibumu
Tak ada lag sakit menderamu
Damailah disana, dirimu...
Kawan...
Pergimu tanpa tanda
Kau selalu berkata
Kau baik-baik saja
Keluh kesah tak pernah ada
Tanpa pamit kau tiada
Kawan...
Pusaramu entah dimana
Kita bahkan belum pernah bersua
Tapi banyak sudah cerita
Yang kita rangkai dalam kata
Semua tinggal cerita
Sampai nanti kawan...
Dee - 24 Jan 2019